Thursday, April 3, 2008

Renungan Minggu

Emaus:Tempat Mengingat dan Bersaksi

Adalah dua orang pengikut Yesus, Simon dan Kleopas, meninggalkan Yerusalem dengan penuh kesedihan. Mereka pulang ke Emaus, sebuah desa kecil yang berjarak 11 Km dari Yerusalem. Tak ingin lagi mereka mengingat dan menginjakkan kaki di Yerusalem, tempat Yesus dihukum mati oleh para pemuka agama.
Semua itu bagaikan mimpi amat buruk dan menguncangkan jiwa, meruntuhkan harapan akan seorang mesias yang segera membebaskan Israel dari Roma. “Lupakan semua itu! Mari hidup wajar lagi seperti biasa” inilah kata-kata yang bergema di hati mereka.
Dalam perjalanan mereka makin terpukul karena harus membuka luka lama, menerangkan kisah sengsara Yesus pada seorang asing yang berjalan bersama. Namun dua murid tadi tersentak ketika orang asing itu berkata, “Bukankah Mesias harus menderita semuanya itu untuk masuk dalam kemulianNya?” (Luk 24:26)
Mereka makin tertarik pada ide si orang asing, dan mengajaknya makan. Sampai akhirnya mereka tersadarkan bahwa si orang asing adalah Sang Mesias sendiri saat Dia memecahkan roti, persis seperti yang dia lakukan malam hari sebelum penangkapannya. Namun tiba-tiba Dia lenyap. Tanpa membuang waktu mereka kembali ke Yerusalem untuk mengisahkan pada murid lain bahwa Yesus tidak mati, Dia hidup, dan berjalan bersama ke Emaus.
Kisah Emaus dibuka dan ditutup dengan tindakan yang berkebalikan : “pergi dari Yerusalem” dan “kembali ke Yerusalem”. Kisah kebangkitan hanya dapat dipahami ketika orang berani untuk menatap lagi kisah-kisah masa lampau, mengingat dan memasukinya. Inilah yang sering kali dihindari. Orang enggan menatap peristiwa lampau, apalagi yang menyedihkan, mencekam dan membuat trahuma. Lebih baik dilupakan dan membuka lembaran baru. Padahal hanya lewat itulah, orang bisa memaknai derita dan kebangkitan.
Elliot dalam karyanya Little Gidding menulis, “A people without history, Is not redemmed from time.” Dengan kata lain, orang yang melupakan sejarahnya, tak akan pernah terbebaskan dari keadaan lampau yang membelenggu.” (To lose one’s history is to be condemned to an “unredeemed” condition). Dalam lingkup yang lebih luas, ketika komunitas melupakan sejarah hidup dan dinamikanya, mereka akan kehilangan akar dan identitasnya.
Secara pribadi kita boleh bertanya, “Pengalaman apa yang ingin kulupakan, dan enggan kuingat? Mengapa? Atau dalam hidup komunitas Gereja, kelompok unio, paroki dan lainnya: “Kisah apa yang “ditutup” tak perlu diingat dan dilenyapkan?” Bisa jadi ini semua membebaskan kita sejenak, tapi tidak membuat kita terbangkitkan dan tertebus karenanya.

Mengingat, Berharap, dan Bersaksi

Kisah kebangkitan dalam injil sinoptik juga berpola sama seperti Emaus, “kembali mengingat”. Para perempuan mendapat pesan dari malaikat, “Ia mendahului kamu ke Galilea” (Mat 28:7, Mark 16:7). “Kembali ke Galilea” mengajak para murid untuk melihat kembali pengalaman awal hidup bersama Yesus, panggilan dan kisah-kisah perjalanan kemuridan. Kebangkitan membawa pemaknaan baru atas peristiwa lampau di Galilea.
Cerita tentang penampakan Yesus pada Petrus dan para murid lain yang sedang membakar ikan di tepi pantai, mengingatkan Petrus akan pengingkaran dirinya. Yesus yang bertanya 3x:” Apakah engkau mencintai Aku?” (Yoh 21:15) sama persis, namun berkebalikan ketika Petrus berdiang dekat tungku api, dia berkata 3x juga: “Aku tidak kenal orang itu” (Yoh 18:26). Pertanyaan Yesus itu menyudutkan dan membuat Petrus malu akan kelemahan dirinya. Namun, ketika dia berani mengingat semua itu, mengakui kelemahan dan peristiwa kejatuhannya, Ia menjadi kuat, dan dipilih Yesus menjadi pemimpin Gereja.
John Baptist Metz, teolog Jerman, mengatakan bahwa mengingat adalah proses dari jalan menuju keselamatan dan harapan. Mengingat kisah derita, ketidakadilan dan kematian, dalam kaca mata kebangkitan, berarti membawa kisah pribadi dan sosial untuk diperbaharui dan disatukan dalam penderitaan dan kematian serta kebangkitan Yesus. Orang baru bisa berharap ketika ada ingatan akan masa lalu dan ada kerinduan untuk memperbaiki di masa depan. Tanpa ada proses mengingat, mengharap masa depan hanyalah seperti impian. Dengan begitu, berharap berarti bertindak aktif untuk keluar dari masa lalu yang membelenggu.
Kisah kebangkitan juga selalu berhubungan dengan tugas perutusan. Setiap murid yang mengalami kebangkitan Yesus punya perutusan yang sama,”Kamu adalah saksi dari semua peristiwa ini” (Mat. 28, Mar.16, dan Luk. 24). Mereka diutus untuk mengajari orang lain bagaimana mengingat masa lalu, membangun masa depan dan meletakkan kisah hidup dalam kaca mata kebangkitan Tuhan.
Kalau malam ini kita merayakan Misa paska, setiap umat diajak untuk mengingat kembali bagaimana awal dunia kita (kisah penciptaan), kisah penderitaan dan ketidakadilan (penindasan Mesir), serta puncak kisah penyelamatan dalam pribadi Yesus Kristus lewat wafat dan kebangkitannya.
Proses mengingat itu menuntut setiap orang juga mengingat pengalaman pribadi dan hidup sosialnya, agar nantinya bisa berharap akan masa depan.
Akhirnya semua orang yang keluar dari Gereja pada malam Paska ini, punya tugas yang sama, “Kamu adalah saksi dari semuanya ini”. Mari kita membangun masa depan, karena kita sudah bebas, tidak terbelenggu masa lalu yang menyakitkan dan melumpuhkan.

No comments: